Ketika pemain Arsenal kembali berlatih usai jeda internasional, mereka langsung merasakan perubahan atmosfer di klub. Semangat mereka meningkat seiring dengan posisi tim yang mulai menatap puncak kompetisi.
Mikel Arteta tetap fokus memaksimalkan performa di Liga Premier, tetapi stafnya sudah mempersiapkan strategi khusus menghadapi Real Madrid di Liga Champions. Aston Villa pun merasakan dinamika serupa.
Ambisi besar inilah yang bisa mengubah segalanya. Liverpool contohnya – meski menjadi tim terbaik selama berbulan-bulan dan layak menjadi juara Liga Premier, penurunan performa di momen krusial justru merugikan mereka di Eropa.
Inter Milan melihat pola serupa dengan penampilan terakhir mereka di Liga Champions dua tahun lalu. Napoli, yang dominan di musim 2022-23 dan nyaris memastikan gelar liga pada Februari, tiba-tiba kehilangan momentum di Maret. AC Milan (peringkat 4 Serie A saat itu) justru mengalahkan mereka di perempat final, sebelum akhirnya tumbang dari Inter (peringkat 3) di semifinal.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah Liga Champions mulai kembali menjadi ajang bagi tim yang tidak harus menjadi yang terbaik di liga domestiknya? Pola serupa pernah terjadi antara 2000-2007, periode setelah kompetisi ini mengalami ekspansi besar. Ketika Liga Champions memperbanyak peserta menjadi 32 tim pada 1999-2000 (termasuk tim peringkat 3 dan 4), banyak skuad kesulitan menyeimbangkan tuntutan pertandingan tambahan.
Statistik menunjukkan, dalam kurun 8 tahun tersebut, lebih banyak tim peringkat 4 atau lebih rendah yang mencapai final Liga Champions dibandingkan yang juga memenangkan gelar domestik. Porto (2003-04) menjadi pengecualian – tim Jose Mourinho ini memanfaatkan kegagalan klub besar dan menjadi kejutan terakhir kompetisi. Bahkan di final 2002-03, Juventus (juara Italia) kalah dari AC Milan (peringkat 3).
Musim 2022-23 seolah menggaungkan era itu. Milan dan Real Madrid saat itu memanfaatkan performa buruk di liga domestik untuk fokus pada Liga Champions. Empat gelar Madrid antara 2000-2007 justru datang ketika mereka finis di posisi 5, 3, 3, dan 4 di LaLiga.
Efek Ekspansi dan Jadwal Padat
Perluasan Liga Champions menjadi 36 tim musim ini berpotensi mengulang sejarah. Krisis cedera melanda banyak klub besar – dari peserta asal Inggris hingga Real Madrid. Pertanyaannya: apakah jadwal yang lebih padat akan membuat tim sulit konsisten di dua front?
Napoli (2022-23) dan Liverpool (sekarang) menunjukkan betapa Piala Dunia atau jadwal padat pasca-Covid bisa mengganggu ritme tim terbaik. Saat menghadapi Milan, Napoli tampak kehilangan energi – seperti Liverpool versus Atalanta.
BACA JUGA: UEFA Pastikan Kylian Mbappe dan Rudiger Bisa Main Lawan Arsenal
Peluang untuk Tim “Segar”
Di tengah kompleksitas ini, tim dengan tuntutan domestik lebih ringan bisa mendapat keuntungan. Paris Saint-Germain (yang sudah unggul jauh di Ligue 1) dan Bayern Munich (meski tertinggal dari Leverkusen) bisa fokus di Eropa. Namun, kasus Liverpool berbeda – mereka memang memimpin di Premier League, tetapi mempertahankannya menguras energi setelah bertarung sengit dengan Manchester City selama 7 tahun.
Real Madrid dan Barcelona (yang masih bersaing ketat di LaLiga) mungkin saling melemahkan. Sementara itu, Arsenal, Aston Villa, dan Borussia Dortmund berpeluang memanfaatkan momentum jika bisa menjaga staminanya.
Tren yang Belum Jelas
Liga Champions musim ini mungkin menjadi penentu apakah kompetisi kembali ke era 2000-an atau justru melanjutkan dominasi tim multigelar. Satu hal yang pasti: di tengah jadwal semakin padat, kemampuan mengelola energi dan skuad akan menjadi kunci.
Catatan untuk Arsenal
Kabar buruk datang dari lini belakang The Gunners. Gabriel Magalhães dipastikan absen hingga akhir musim, sementara Arteta masih menunggu kepastian kebugaran Jurriën Timber dan Ben White. Riccardo Calafiori dan Takehiro Tomiyasu juga belum bisa turun.
Sementara itu, Real Madrid lega karena UEFA membatalkan sanksi untuk Kylian Mbappé dan Antonio Rüdiger setelah menyelidiki insiden usai laga vs Atletico Madrid. Keduanya hanya dikenai denda (€30.000 untuk Mbappé dan €40.000 untuk Rüdiger) atas gerakan provokatif ke pendukung.
Pertemuan kedua tim di Emirates pada 9 April akan menjadi ujian nyata: apakah Arsenal bisa mengatasi krisis bek, atau Madrid akan membuktikan pengalaman mereka di Eropa?
View this post on Instagram